Sidrap - Masjid Tua Jerrae Sidrap atau yang juga dikenal dengan sebutan Masjid Tua Jerrae Allakuang merupakan salah satu bangunan bersejarah yang berada di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan (Sulsel). Masjid tersebut merupakan masjid pertama yang dibangun di Sidrap sekaligus menjadi saksi sejarah peradaban Islam di bumi Nene' Mallomo.



Mengutip dari jurnal UIN Alauddin Makassar berjudul Masjid Tua Jerrae Allakuang sebagai Pusat Pengembangan Islam di Kerajaan Sidenreng pada Abad XVII, Masjid Tua Jerrae didirikan pada tahun 1609 saat Kerajaan Sidenreng dipimpin oleh menantu Sombayya (raja) Gowa I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Tunipallangga Ulaweng bernama La Patiroi Addatuang Sidenreng Matinroe ri Massepe (1582-1612 M)


Pembangunan masjid ini diinisiasi oleh Addatuang Sidenreng La Patiroi yang juga dibantu Nene' Mallomo dan Syekh Bojo setelah dua tahun masuknya Islam di Kerajaan Sidenreng. Nene' Mallomo yang memiliki nama asli La Pagala saat itu berstatus sebagai penasihat kerajaan Sidenreng. Nene' Mallomo adalah seorang tokoh intelektual, ahli pikir, ahli hukum dan tata pemerintahan.



Sementara itu, Syekh Bojo yang juga turut berperan dalam pendirian Masjid Tua Jerrae saat itu ditunjuk sebagai Imam Masjid dan sekaligus menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk. Syekh Bojo atau Syekh Abdul Rahman adalah salah satu ulama dari Arab yang menyebarkan agama Islam di Kerajaan Sidenreng.


Tujuan awal didirikannya masjid ini tak lain sebagai upaya menyebarkan agama Islam di Sidrap serta sebagai pusat pengembangan agama Islam. Saat itu, para pemeluk agama Islam di Sidenreng melaksanakan ibadah di rumah-rumah karena belum memiliki tempat ibadah.


Selain digunakan sebagai tempat ibadah, masjid ini juga kerap difungsikan untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan lainnya.


Lokasi Masjid Tua Jerrae Sidrap

Lokasi Masjid Tua Jerrae berada di Desa Allakuang Kecamatan Maritengngae Kabupaten Sidenreng Rappang yang merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Sidenreng pada saat itu. Jarak masjid ini dari Kota Pangkajenne kurang lebih 5 kilometer.


Di sebelah tenggara masjid, terdapat gunung Allakuang. Oleh masyarakat setempat, gunung ini kerap dimanfaatkan untuk mengambil batu untuk dibuat nisan, tiang-tiang, dan alat dapur.


Jejak Arkeologi di Sekitar Lokasi Masjid Tua Jerrae Sidrap

1. Soa Raja

Tidak jauh dari Masjid Tua Jerrae, kurang lebih 350 Meter arah barat, terdapat bekas berdirinya Salassa atau Soa Raja (Rumah Addatuang Sidenreng La Panguriseng) yang sisa-sisanya tidak tampak lagi. Masjid ini dibangun oleh raja di luar ibukota kerajaan.


Walaupun letaknya tidak berada di dekat istana kerajaan, akan tetapi Addatuang (raja) Sidenreng sering menggunakannya sebagai tempat untuk menunaikan shalat Jumat dan shalat Hari Raya.


2. Makam Syekh Bojo dan Addatuang Sidenreng La Panguriseng

Di sebelah Selatan Masjid Tua Jerrae Allakuang, terdapat kompleks makam Syekh Abdul Rahman (Syekh Bojo), makam Addatuang Sidenreng La Panguriseng (1837-1889 M.) dan keturunannya, makam Petta Kudu (Nene Bau Massepe), makam Jennang atau penasehat raja Andi Gurua Makkarate dan keluarganya yang juga dikenal sebagai pemilik tanah tempat dibangunnya masjid.



Arsitektur Bangunan Masjid Tua Jerrae Sidrap

Bangunan Masjid Tua Jerrae Allakuang ini dibangun di atas area seluas 21x12 meter yang berada di ketinggian 67 mdpl. Masjid ini didirikan dengan model arsitek yang indah dengan menggunakan bahan bangunan lokal.


Jika dilihat dari bentuk, gaya, corak, dan penampilannya, Masjid Tua Jerrae merupakan hasil arsitektur Indonesia asli. Tampilan Masjid Tua Jerrae mirip dengan arsitektur Masjid Agung Demak yang beratap susun tiga.


Sama halnya dengan masjid tua pada umumnya yang ada di Indonesia, Masjid Tua Jerrae Allakuang juga mempunyai pondasi, lantai, tiang, dinding, jendela, atap, mustaka, ceruk, pintu, mihrab, mimbar, gendang, dan sebagainya dengan karakteristik yang khas.


Tiang


Masjid ini memiliki 20 buah tiang, dengan 4 tiang utama yang berbentuk bundar. Tiang tersebut dibuat menggunakan "kayu ladang" sehingga kelihatan tidak lurus, diameternya 35 cm dan berwarna merah.


Antara tiang satu dengan tiang lainnya, masing-masing berjarak 6 meter. Pada bagian bawah tiang diberi alas dari semen setinggi 10 cm sehingga tinggi empat tiang utama tersebut sevara keseluruhan 5,6 meter.


Sementara itu, tiang lainnya terdapat di sekeliling tiang utama berjumlah 16 buah. Bentuknya bundar dan berwarna merah dengan berdiameter 27 cm. Keempat tiang utama dan 16 tiang lainnya terbuat dari kayu "cina guri" yang didatangkan dari tanah Luwu (Palopo).


Lantai


Pada awal dibangun, lantai Masjid Tua Jerrae Allakuang berupa tanah, kemudian batu tumbuk, semen, dan sekarang diganti menjadi marmer.


Selain lantai satu, di masjid ini juga ditemukan lantai dua. Lantai dua ini berbentuk persegi dengan panjang sisi 6 meter dan tinggi 2,6 meter. Keempat tiang utama yang terdapat di lantai 1 sekaligus sebagai penopang lantai dua.


Atap


Atap Masjid Tua Jerrae Allakuang berbentuk atap susun (tumpang) tiga. Awalnya, atap masjid terbuat dari ijuk, kemudian diganti dengan "cippa" atau bambu yang dibelah-belah.


Pada tahun 1927, atap masjid ini kemudian diganti dengan seng. Kemudian pada tahun 2018 M, atap seng diperbaharui kembali lebih tahan lama.


Mustaka


Bagian puncak Masjid Tua Jerrae terdiri dari dua bagian, yaitu mustaka dan penutup mustaka. Mustaka terbuat dari kayu menyerupai tempayan kecil dan berbentuk menara setinggi 50 cm, bergaris tengah 15 cm. Sambungan mustaka menjulur ke dalam ruang masjid sepanjang 5 meter. Bagian ujung mustaka terdapat hiasan berbentuk sulur daun.


Sementara itu, penutup mustaka terbuat dari rangka kayu, dinding dan atapnya dari seng berwarna hijau dan dasarnya terbuat dari kayu. Pada bagian dinding penutup mustaka terdapat ukiran berbentuk sulur daun. Mustaka ini berfungsi sebagai pengunci puncak atap untuk menjaga masuknya air.


Dinding


Mukanya, dinding Masjid Tua Jerrae Allakuang terbuat dari papan, kemudian diganti dengan seng. Pada pada tahun 2018 M, masjid direnovasi dan dindingnya diganti dengan semen.


Mimbar


Mimbar Masjid Tua Jerrae Allakuang sebanyak dua buah. Masing-masing mimbar terletak di kiri dan kanan agak ke depan mihrab.


Mimbar yang berada di samping kanan terbuat dari kayu yang merupakan tiruan dari mimbar asli masjid dengan tinggi 1,82 meter. Pada bagian belakang sepanjang 1,51 meter dengan menggunakan tangga dari depan dengan dua buah anak tangga dan tempat duduk khatib pada susunan teratas.


Mimbar kedua terletak di samping kiri mihrab. Mimbar ini terbuat dari semen kemudian dilapisi tegel berwarna putih.


Mimbar ini dibuat sebagai pengganti mimbar asli yang telah lapuk termakan usia dan tidak dapat digunakan lagi. Tinggi bagian belakang mimbar 2,15 meter, panjang 1,55 meter, lebar 80 cm, dan tebal dindingnya 20 cm. Untuk naik ke atas mimbar melalui tangga dari depan dengan menggunakan lima buah anak tangga.


Ragam Hias


Ragam hias yang terdapat pada Masjid Tua Jerrae Allakuang didominasi hiasan naturalis. Hiasan ini tampak pada mimbar kayu, keempat tiang gantungan lampu, sambungan mustaka yang menjulur ke dalam masjid, hingga penutup mustaka yang semuanya berhiaskan bentuk sulur daun.


Masyarakat Sidenreng telah mengenal hiasan seperti ini jauh sebelum masuknya Islam. Hiasan berbentuk sulur daun ini dapat diasosiasikan dengan alam yang menjadi lambang kesuburan dan menggambarkan daerah agraris Sidenreng yang terkenal sampai sekarang sebagai daerah Lumbung Padi.


Tempat Wudhu


Pada halaman masjid terdapat sumur yang dulunya digunakan sebagai tempat berwudhu. Untuk menimba airnya, dapat menggunakan timba yang terbuat dari buah "bila" atau maja.


Seiring dengan semakin bertambahnya jamaah, maka dibangunlah kolam sebagai tempat berwudhu dengan ukuran 4x4 meter persegi, tinggi 1,25 meter, dan tebal tembok 22 cm. Kolam tersebut dilengkapi pipa besi sepanjang 3,5 meter yang mempunyai enam buah lubang air untuk berwudhu.


Baca juga:

Sejarah Masjid Al-Muhajirin Pinrang, Dibangun Pakai Putih Telur-Tanpa Besi

Fungsi Masjid Tua Jerrae Sidrap dalam Perkembangan Agama Islam di Sidrap

Sebagai masjid pertama di Sidrap, Masjid Tua Jerrae memiliki sejumlah fungsi dalam perkembangan agama Islam. Setidaknya ada 3 fungsi, yaitu fungsi ubudiyah atau tempat peribadatan, fungsi tarbiyah atau pusat kajian dakwah dan pendidikan, serta fungsi ijtimaiyah atau tempat kegiatan sosial kemasyarakatan.


1. Sebagai Tempat Peribadatan (Fungsi Ubudiyah)

Sebagai tempat beribadah, masjid haruslah dapat digunakan sebagaimana fungsinya, yaitu tempat untuk melaksanakan salat lima waktu, salat Jumat, salat tarwih, dan ibadah-ibadah lainnya. Fungsi masjid sebagai tempat beribadah telah diterapkan di Masjid Tua Jerrae Allakuang.


Masyarakat setempat sangat antusias melaksanakan salat berjamaah di dalam masjid. Tidak hanya penduduk setempat, ada banyak pengunjung atau jamaah dari luar yang juga datang untuk merasakan salat berjamaah di masjid ini.


Masjid Tua Jerrae sebagai masjid pertama sekaligus bukti masuknya Islam di Sidrap tentunya menjadi daya tarik masjid ini. Masjid Tua Jerrae Allakuang sebagai cagar dan warisan budaya tentunya memiliki keistimewaan tersendiri bagi umat muslim yang beribadah di tempat ini.


Hampir setiap hari, masjid ini selalu didatangi oleh pengunjung dari luar, baik dari kalangan masyarakat biasa, pemerintah, ataupun pelajar. Tujuan mereka tidak hanya yang untuk beribadah, melainkan juga untuk mengetahui lebih banyak informasi tentang Masjid Tua Jerrae Allakuang.


2. Pusat Kajian Dakwah dan Pendidikan (Fungsi Tarbiyah)

Selain fungsinya sebagai tempat ibadah, Masjid Tua Jerrae juga berfungsi sebagai pusat kegiatan dakwah dan pendidikan. Berbagai kegiatan dakwah dan pendidikan dilakukan di masjid ini, mulai dari khotbah Jumat bagi kaum laki-laki, ceramah pada bulan puasa (Ramadhan), ceramah pada perayaan hari raya besar Islam maupun kegiatan lainnya seperti Majelis Taklim dan Isra' Mi'raj.


3. Tempat Kegiatan Sosial Kemasyarakatan (Fungsi Ijtima'iyah)

Fungsi lainnya dari Masjid Tua Jerrae yaitu sebagai tempat kegiatan sosial kemasyarakatan. Masjid dipergunakan umat sebagai tempat berkumpulnya kaum muslimin dan merupakan tempat untuk melaksanakan berbagai kegiatan ibadah.


Kemudian, kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang merupakan perwujudan hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas) juga diselenggarakan sehingga fungsinya sebagai pusat pendidikan non formal dapat berjalan dengan optimal.(*)