FAKTANEWS.ONLINE, KONAWE-- Bendungan Ameroro yang terletak di Kecamatan Uepai Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan total luas lahan 578,78 Ha, yang diproyeksikan memiliki kapasitas tampung 98 juta M3 dan luas genangan 380 Ha ini merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam rangka memdukung ketahanan pangan nasional.

Sejatinya keberadaan proyek ini menjadi angin surga dan mampu mendorong tingkat perekonomian dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, namun hingga target penuntasan pembangunannya rampung masih menyisakan polemik, Pasalnya Laporan dugaan tindak pidana mafia tanah yang dilakukan oleh oknum dengan ancaman kekerasan guna kejahatan jabatan diatas objek tanah Walaka Ngginiku belum juga usai, malah memasuki tahap selanjutnya. 

Setelah surat penyampaian barang bukti sehubungan dengan dugaan tindak pidana mafia tanah dan ancaman kekerasan guna kejahatan jabatan diserahkan oleh Kuasa ahli waris Walaka Ngginiku ke pihak kejaksaan, kini giliran DPRD Provinsi diminta untuk segera melakukan hearing terhadap Satgas dan pihak terkait berdasarkan Surat Pengajuan RDP tertanggal 27 Mei 2024 bulan lalu. 

Muhammad Azhar, Kuasa Ahli Waris Walaka Ngginiku kepada media ini menyatakan sikapnya terkait hal itu kemarin (06/06/2025).

Ia menuturkan, Keberadaan Tanah Walaka memiliki eksistensi yang jelas dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Meski mengacu pada Pasal 5 Perpres No 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional, maka negara dalam hal ini pemerintah tetap memiliki kewajiban hukum untuk menyelesaikan ganti rugi dampak yang timbul dari Pembangunan Ameroro diatas tanah Walaka Ngginiku dan tanah masyarakat lainnya yang berhak.

Selain itu, Perpres tersebut juga menyebutkan penguasaan tanah oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 dimana tanah tersebut harus memenuhi persyarakatan yakni telah menguasai dan memanfaatkan tanah secara fisik paling singkat 10 tahun secara terus menerus, dan menguasai dan memanfaatkan tanah dengan etikad baik secara terbuka, serta tidak diganggu gugat diakui dan dibenarkan oleh pemilik hak atas tanah dan atau lurah/kepala desa setempat.

"Diatas tanah Walaka itu terdapat rumah, kuburan dan tanaman jangka Panjang yang produktif didalamnya, dan tanaman-tanaman itu sudah berusia ratusan tahun dan sebagian juga telah diremajakan, seperti jati putih, pohon sagu, kelapa, durian, coklat, lada dan yang lainnya" terang Azhar. 

Sehingga menurutnya, jika hal ini dikaitkan dengan Undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi dari Perpres No 62 Tahun 2018,  maka pemenuhan hak-hak adat diatas tanah Walaka memiliki kekuatan hukum mengikat yang harus dilaksanakan oleh pemerintah terkait.

Kuasa Ahli Waris ini juga mengatakan, berdasar pada Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Tanggal 16 Mei 2013 (Uji materil UU Kehutanan), yang dalam amar putusannya mengatakan membatalkan Undang-Undang Kehutanan tentang Penguasaan Tanah Adat, dan agar dikembalikan pada kesatuan Masyarakat Hukum Adat, maka putusan itu menurutnya sangat fair dan adil sebab telah sejalan dengan Undang-undang Pokok Agraria yang menyebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat.

Karenanya, melalui hak dan wewenangnya, DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara diharapkan mampu mengambil sikap cepat dan tegas untuk memanggil pihak-pihak yang terkait dan pula merekomendasikan percepatan proses Hukum atas dugaan mafia tanah yang terjadi seputar pelaksanaan proses pembebasan lahan dan penanganan dampak sosial pada Pembangunan Bendungan Ameroro itu.

"Kami berharap DPRD Provinsi segera mengambil sikap berdasarkan kewenangannya, untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat, sebab surat kami telah masuk sejak bulan lalu dan agar secepatnya merekomendasikan percepatan proses hukum" tegasnya 

Dalam wawancara, Muhammad Azhar juga memperlihatkan beberapa dokumentasi terkait objek Walaka Ngginiku berupa foto-foto kondisi fisik tanah dan makam tua sebelum akhirnya ditenggelamkan tanpa terlebih dahulu meminta ijin kepada pemilik lahan yakni para ahli waris Walaka Ngginiku milik H. Hasan alias H. Puo-Puo.

Padahal, lanjutnya, dalam Pasal 28H ayat 4 UUD 1945, telah dengan tegas meyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun".  

"Dan upaya akan terus kami lakukan untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat dan serta pemilik lahan di atas tanah walaka Ngginiku, termasuk masyarakat lainya yang belum mendapatkan hak-haknya yang di rampas oleh sindikat mafia tanah, sebab semua ini adalah kejahatan yang bersifat luar biasa" tutupnya. (q'L)